Sunday, January 30, 2005

Cuplikan dari "Jangan Bilang Siapa-siapa..."

Seharusnya Lola bisa menduga, Shayna akan mencampakkan Rafa seperti cowok-cowok lainnya. Salahnya juga sih dulu setuju-setuju aja Shayna jadian sama Rafa. Lola seharusnya menghalang-halangi mereka jadian, gimana kek caranya, pokoknya jangan sampai terulang kejadian yang sama lagi. Yah, seenggaknya bukan sama Rafa yang baik itu.

“Ya ampun, Shay. Bisa nggak sih kamu sekali aja setia sama cowokmu.”

“Please deh!” Shayna agak tersinggung dengan ucapan Lola. “Siapa yang kau bilang nggak setia, hah?”

“Sori, sori,” kata Lola.

“Bosan, maksudku,” Lola mengoreksi ucapannya. “So, masih pengen terus sama Rafa?”

“Gimana ya?” Shayna mengangkat bahu. “Dibilang mau juga nggak, dibilang nggak juga boong.”

“Yang jelas dong kalo ngomong.”

“Intinya, aku nggak berani mutusin dia.”

Lola mengangkat sebelah alisnya. Nggak berani mutusin Rafa? Aneh banget kedengarannya. Terutama kalo yang bilang itu adalah seorang Shayna.

“Yeah, right. Kayak aku bakalan percaya aja.”

“Beneran, La,” Shayna berusaha meyakinkan sahabatnya itu. “Aku pengen putus, tapi untuk sekarang ini aku bener-bener nggak tega. Belakangan dia selalu ngeluhin soal keluarganya, udah gitu tampangnya down banget, nggak kayak Rafa yang biasanya.”

“Sure, Babe. Whatever,” Lola masih antara percaya dan nggak percaya sama Shayna. Omongannya sukar dipercaya, too good to be true!
Tumben amat dia peduli sama perasaan korbannya, pikir Lola.

“So... Rafanya digantung gitu aja,” pancing Lola, “kayak tadi tuh...”

“Tadi?” Shayna mengerutkan kening, “Maksudmu tadi di telepon? Iih, itu mah lain. Aku emang lagi males nrima telpon. Bad mood neh.”

“Oh yeah, dengan belanjaan sebanyak itu?” Lola tertawa, menanggapi alasan Shayna yang tentu aja nggak masuk akal. Mana ada orang bete yang bisa tersenyum riang sambil belanja sepertimu?dasar aneh!

* * *

Shayna mengeluh lapar waktu keluar dari Love Haters, mengajak Lola ke foodcourt di lantai tiga. Lola mau aja, lagian hanya setangkup roti isi selai pagi tadi yang baru masuk ke dalam perutnya. Sebenarnya Lola berencana diet hari ini, tapi ajakan Shayna makan spaghetti bener-bener membuatnya tergiur.

“Masa bodoh dengan diet,” gumam Lola seraya memesan spaghetti spesial plus jus alpukat. Merasa masih kurang, Lola menambahkan onion ring ke dalam baki makanannya.

“Udah nggak makan berapa minggu, Mbak?” sindir Shayna, tersenyum kecil melirik makanan yang dipesan Lola.

Lola tertawa nyengir, “Sirik aja deh! Mumpung masih ada rejeki dan masih bisa makan yang enak-enak, kenapa nggak?”

“Ck, ck, ck, La, La. Katanya mau ngurusin badan. tapi kok makannya banyak gitu, kapan kurusnya?”goda Shayna.

Shayna hanya memesan nasi goreng oriental dan jus jeruk. Lola memilihkan tempat duduk buat mereka, di meja empat, bersebelahan dengan rombongan cowok-cowok yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Nggak, mereka hanya tertarik sama Shayna doang. Apalagi cowok yang berkaus ijo tentara, matanya sampai nggak berkedip melihat Shayna.

Shayna nggak peduli dan asyik mengobrol dengan Lola sambil sesekali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Lola menawarkan onion ringnya pada Shayna namun dia menolak. Tapi beberapa menit kemudian tanpa sadar tangannya bergerak mencomot onion ring Lola.

Ponsel Shayna berbunyi lagi. Lola sempat melihat sekilas nama yang berkedip-kedip di layar lcd, Fabio deLuxe—nama yang sangat asing bagi Lola. Seingatnya, Shayna juga nggak pernah cerita tentang pemilik nama itu.

Tapi deLuxe, hmm, Lola teringat sesuatu.

Bukan... bukan nama barang pokoknya. Hanya satu yang Lola kenal memakai nama dengan tulisan seperti itu, de ditulis kecil dan bersambung dengan Luxe.

“Halo?”

“Hei, Shay!”

“FABIO!!! Udah lama nih nggak nelpon,” kata Shayna dengan riang. “Kemana aja?”

“Masih sekitar-sekitar Indonesia kok, nggak kemana-mana,” jawaban yang jayus sih, tapi Shayna tertawa juga. “Nggak deng. Lagi di rumah, main PS sendirian. Mo mampir?”

“Nggak ah. Ntar diajak dosa lagi.”

“Dosa apa?” Fabio terkekeh. “Kamu tuh ya, ha ha ha, dasar!”

“He he he! Sabtu jalan yuk.”

“Umm…” Fabio berpikir sejenak, mengingat-ingat jadwalnya sebelum mengiyakan ajakan Shayna. Maklum, Fabio dan bandnya sedang menyiapkan debut album pertama band mereka. Dua bulan yang lalu mereka menandatangani kontrak dengan perusahaan rekaman dan sejak itu setiap hari, sepulang kuliah, Fabio dan personil band lain menghabiskan waktu mereka di dalam studio. Saat ini sudah terkumpul empat lagu, dari total sepuluh lagu yang direncanakan masuk dalam album mereka.

Ah ya, tentu aja Lola familier dengan nama deLuxe. Band Fabio itu, deLuxe, sering manggung di Prontera, tongkrongan Lola dan Shayna kalo lagi bosan di rumah.

“Boleh.... Sabtu ini jam berapa? Aku ada urusan sedikit sama manager band jam 9, sebentar aja kok. Abis itu, terserah mo kemana.”

“OK, kalo gitu jam sebelas di Lumidee. Jangan telat!”

Lumidee adalah kafe baru yang terletak di sekitar perempatan Pattimura, dekat apotik. Shayna pernah sekali kesana, dengan Fabio juga, dan dia sangat terkesan dengan Frappucinonya yang nggak ditemukan di tempat lain.

“Lumidee, jam sebelas. OK!”

Shayna meletakkan ponselnya di atas meja sambil senyum-senyum kecil. Lola yang paling nggak tahan dibikin penasaran, menginterogasi Shayna tentang cowok—pasti cowoklah, Shayna gitu loh—yang barusan menelepon sahabatnya itu.

“Fabio mana lagi nih, Shay?”

Shayna tersenyum misterius lalu berkata, “MTA. Mo Tau Aja!”

Namun akhirnya Shayna cerita juga tentang Fabio. Mereka berkenalan setelah deLuxe selesai manggung. Shayna diam-diam menyelinap pergi dan menghampiri Fabio.

“Ada lighter?” tanya Shayna, mengacungkan rokoknya. Trik klasik, tapi sering berhasil.

Fabio menggeleng dan mengatakan kalau dia nggak merokok. Shayna langsung terkesan karenanya, baru sekali ini dia bertemu anak band yang nggak merokok. Ah, Shayna jadi malu datang pada Fabio dengan rokok di tangan.

Shayna sudah merasa nggak punya harapan lagi dengan Fabio, sampai kemudian Fabio balas mencarinya dan menemukannya baru keluar dari toilet.

“Aku belum tau namamu,” Fabio mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Fabio.”

“Shayna,” katanya, balas tersenyum tak kalah manisnya.

Dari perkenalan dan obrolan ringan seputar kehidupan sehari-hari semakin dekatlah mereka berdua. Shayna semakin tertarik pada pribadi Fabio yang simpel dan hangat, kebalikan dari kau-tahu-siapa yang sangat, sangat membosankan. Makanya ketika Fabio menanyakan nomor teleponnya, tanpa ragu Shayna langsung memberikannya.

Selesai Shayna bercerita, lagi-lagi Lola terkagum-kagum dengan kehidupan sehari-hari temannya yang selalu penuh kejadian ajaib dan tadi itu salah satunya. “Kok bisa ya,” pikir Lola.

“Hemm... katanya nggak pengen nerima telepon dari siapapun hari ini,” Lola menyindir, ”lha itu tadi apa?”

“He he he...”

Shayna nyengir kuda.

“Kamu nggak kasihan sama Rafa, dicuekin kayak gitu terus,” kata Lola, wajahnya berubah khawatir. “Mending diputusin deh, Shay.”

“Iya, iya. Aku bakalan putus kok sama Rafa.”

“Kapan?”

“ASAP—As Soon As Possible.”Dalam kamus Shayna, secepatnya bisa juga berarti entah kapan. Bisa besok, bisa tahun depan.
Tolong dikomentari ya, soalnya ini (semoga aja, God Help Me!) udah lulus dari meja editor, disuruh revisi dan barusan tadi dikirim

2 comments:

ino2cent said...

ms.happy...fyra...thanks ya buat supportnya! biarpun novel ino lama terbitnya, pada mau nungguin kan? iya kan? :)

Dewi said...

goodluck ya bukunya! bakal dibeli kok!
tapi awas klo endingnya minta diketok!!!
gak boleh gantung!!!